Langsung ke konten utama

Setelah Hujan Reda

 Berkenalan Denganmu adalah Ketidaksengajaan yang dirancang Tuhan

Aku pernah mengenal seorang gadis. Dia cantik, baik, dan seorang yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Naila, ya, namanya Naila.

Pertama kali berkenalan dengannya melalui sosial media. Sebenarnya kami satu gedung yang sama selama 2 tahun. Namun, kami tak pernah bertatap muka, bertemu tanpa sengaja, dan bahkan aku tak tahu bahwa selama ini, ada surga yang bersembunyi.

Hari itu, akun sosial media lamaku teretas oleh entah siapa. Semua kenangan, perjalanan, celotehan, foto lama, semuanya hilang. Aku memutuskan untuk tidak lagi membuat akun baru, alias bermain dengan media sosial. Namun, seorang mentor menulis melarang. "Media sosial itu alat kamu untuk promosi," katanya.

Bulan februari, aku kembali membuat akun baru. Semua teman lama kuundang untuk pertemanan, dan aku mengklarifikasi akun lama. Beberapa hari, datang notifikasi pertemanan. Kukonfirmasi dia. Dia mengirim sebuah pesan pertama kali. Aku heran dan sedikit kagum. Selama ini, kurasa tidak ada wanita yang memulai percakapan duluan, hanya untuk sekadar berkenalan.

Naila: Assalamualaikum

Kubalas: Waalaikumsalam. Ada yang bisa kubantu?

Cukup lama tak ada balasan. Kulihat dia tidak sedang aktif. Aku pun masih bergeming dengan naskah-naskah yang tak kunjung selesai. Kunonaktifkan sosial mediaku. Mata kembali tertuju monitor laptop, sedang jariku menari-nari di atas papan tik.

Aku kembali penasaran dengan berita-berita yang marak di beranda media sosial. Kubuka lagi. Notifikasi pesan berbunyi beebarengan dengan notifikasi aplikasi lain. Kulihat pesan itu. Ternyata dari Naila.

Naila: Oh tidak, Mas. Aku cuma mau kenalan aja. Kita satu kampus, Mas.

Rupanya pesan itu sudah cukup lama. Naila pun sudah tidak aktif. Namun aku tetap membalas pesan itu.

Aku: Oh iya, salam kenal juga. Mbaknya semester berapa? Kok aku tidak pernah lihat ya, hehe....

Aku merasa penasaran dengan Naila. Seperti yang kukatakan. Selama 2 tahun dalam satu gedung tapi tak pernah jumpa, bahkan melihat pun tidak. Tiba-tiba, gawaiku kembali berbunyi. Kulihat notifikasi. Rupanya balasan dari Naila.

Naila: Aku semester 4, Mas. Yah, Mas ke mana aja sampai nggak pernah lihat aku, wkwkwk....

Aku: Ya, mungkin kita pernah lihat atau papasan, hanya saja nggak saling mengenal kali ya.

Naila: Iya mungkin, Mas. Ohya, boleh minta nomor, Mas? Biar makin akrab aja, hehe....

Kukasihlah nomor ponselku pada Naila. Mulai hari itu kami mulai intensif ngobrol melalui whatsapp. Kutanya rumahnya, dan ternyata dekat dengan rumah salah seorang saudaraku.

Semakin lama, obrolan kami mulai menjadi. Aku berani meledeknya dengan gombalan-gombalan kecil. Ya  itu caraku untuk mengakrabkan diri dengan seorang wanita.

Jujur, aku penasaran dengannya. Apa dia sudah punya pacar? Pikirku. Kuberanikan diri untuk bertanya hal itu. Mengejutkan. Ternyata wanita secantik dia masih jomlo. Sebentar. Kok aku senang saat mengetahui dia jomlo?

Baiklah, aku lanjut lagi ceritanya. Pada hari itu - aku lupa hari apa - aku selesai mata kuliah. Aku berjalan menuju kantin. Maklum, muka pucet belum makan dan belum merokok. Di perjalanan ke kantin, aku bertemu teman wanita yang beda prodi, Vini namanya. Aku sering godain dia. Ya karena memang Vini sudah mengenalku dan kita sering becanda.

Kualihkan pandangan, aku kaget. Kok nggak asing. Olala... Rupanya Naila. Aku diam beberapa saat. Dia pun sama, diam dan tak bergerak beberapa lama. Hari itu, adalah hari pertama kalinya aku bertatap muka dengan Naila. 

"Habis kuliah?" Tanyanya. 

"Iya, kamu sendiri?" Tanyaku

"Ya, aku baru berangkat. Ada yang harus kuurus di organisasi, " Jawabnya. 

Sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Telpon dan chatting setiap saat. Hingga tumbuhlah bunga di taman hatiku. 

Suatu ketika, aku mencoba bertanya, apakah Naila sudah punya pacar? Ia menjawab bahwa dirinya pernah trauma dengan hubungan asmara. Ia pernah hampir menikah sebelum kuliah, tapi harus dipaksa kandas karena orang tuanya tidak merestui hubungannya. 

Meski demikian, seiring berjalannya komunikasi yang lancar, aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku. Ia pun menjawab bahwa dirinya memiliki perasaan yang sama. Hanya saja ia takut akan kejadian masa lalunya terulang. 

"Baiklah, akan kucoba. Kita jalani dulu saja," Ucapnya. 

***

Beberapa bulan berlalu, entah berawal dari mana, hubungan kami mulai merenggang. Naila menjauh. Ia seperti terus menghindariku. 

"Bisa kita bertemu," Tulisku melalui whatsapp. 

Tidak dijawab. Aku resah, gundah dan semakin bingung dengan sikapnya. Komunikasi kami semakin buruk.

Waktu itu, kuliah selesai. Aku berjalan menuju kost Naila. Namun, belum sempat aku melangkah, aku tanpa sengaja melihatnya dibonceng oleh seorang laki-laki. Yang kukenal laki-laki itu adalah teman sekelasnya. Ya, bohong jika aku mengatakan bahwa aku tak cemburu melihat pemandangan itu. 

"Bisa kita bicara?" Tanyaku. 

"Aku ada kelas," Jawabnya. 

"Nanti setelah kelasmu selesai," Kataku. 

"Aku ada rapat organisasi," Jawabnya lagi. 

"Sampai kapan terus menghindar?" Tanyaku. 

Naila tak menjawab. Ia berlalu meninggalkanku menuju kelasnya. Dengan perasaan sedih dan bingung, aku pun beranjak menuju kantin. 


Bersambung.... 

Komentar