IBU SEJATI
Karya: Putu Wijaya
Sebagai ibu yang baik aku datang ke kantor polisi, atas kemauan sendiri. Melaporkan putraku ujang yang telah khilaf, sesat, bejat, buas. Ia teler lalu membantai satu keluarga ludas. Ia mengunci mereka dalam kamar lalu membakar. Lima orang meninggal. Termasuk pacar Ujang sendiri. Alasannya tak ada. Ujang bilang ia tak tahu. Aku tak sadar, ibu, katanya.
Aku berharap yang berwajib akan bijaksana, oleh laporanku yang terus terang mengakui kesalahan Ujang. Dengan harapan supaya itu bisa meringankan hukumannya. Banyak yang bilang kalau berterus terang mengaku dosa hukumannya ringan.
Siapa lagi yang wajib melaporkan anak yang haus darah kalau bukan bunda kandungnya sendiri? Siapa lagi yang bertugas mendera putra yang gelap mata mencabik jiwa warga tak berdosa, termasuk pacar sendiri yang amat dia cintai, kalau bukan bunda kandungnya?
Aku yang telah memberi Ujang darah dan daging, tapi aku telah alpa tidak berhasil menjauhkan dia dari pergaulan sesat. Aku sungguh menyesal. Siapa lagi yang harus menyeretnya sujud mengakui dosa minta ampunan atas kekhilafannya, agar ia jera, kalau bukan aku? Kalau bukan bunda kandung, siapa lagi yang akan bisa memaksa dia bertanggung jaawab atas segala kejahatannya? Aku rela ia didera, asal sepantasnya, agar ia kapok lantas banting stir dari narkoba ke jalan yang benar.
Semoga peradilan masih memberikan kesempatan generasi muda memperbaiki kesalahannya. Penjara akan meringkusnya nyahok bagaimana hidup berkeadaban. Dengan dijatuhi hukuman nanti semoga iblis yang menggerak di otaknya akan ngletak agar Ujang kembali ke jalan yang benar! Ya Allah, tolonglah ibu yang malang ini menumpas setan yang menguasai jiwa Ujang!
Tetapi malang, hakim putuskan lain. Ujang dianggap kejam, pembunuh berdarah dingin. Membakar satu keluarga tanpa alasan jelas lebih kejam dari binatang buas karenanya wajib musnah kata beliau lantang disambut pekik sorak histeris masyarakat. Palu diketok. Putraku Ujang harus ditembak sampai mati!
Aku, sebagai ibu, semaput. Dikunyah sesal, dihantui dosa, aku mengutuk diriku. Coba, di mana ada ibu membunuh anak sendiri? Bukan Ujang putraku yang binatang buas, tapi aku sendirilah Iblis yang ganas.
Tak kuat mendengar umpat tetangga, tak mampu menerima tudingan biadab, dengan sesal berkepanjangan, aku ibu yang kejam berkunjung ke penjara. Akulah yang harus sujud minta ampun. Akulah yang harus dihukum atas kebodohanku sendiri.
Tapi begitu bertatapan kembali dengan Ujang aku langsung tumbang. Sementara putraku yang malang itu besar jiwanya. Ia sedih melihatku rebah. Lantas ia bersimpuh mengurut kakiku, membalurnya dengan minyak kayu putih. Ketika pelupuk mataku terbuka lagi, ia sujud minta maaf atas segala dosannya, sambil berbisik lirih, aku pamit, ibu, akan pergi jauh dan tak kembali. Ia sama sekali tidak megutuk putusan peradilan. Sama sekali tidak menghujat ibu kandungnya kejam. Sama sekali tidak menggugat kebekuan hati presiden yang tidak memberikan grasi. Sama sekali tak menggugat kenapa nasibnya malang.
Ibu, tak usah menyesal, jangan merasa berdosa, katanya menghiburku. Perbuatan ibu adalah suri teladan yang Ujang akan selalu kenang dan banggakan Sejarah akan mencatat dengan tinta emas keberanian ibu.
Walau putra kandungmu semata wayang, tapi karena ia seorang berdosa, kau antar sendiri agar dihajar. Itu sungguh mulia, ibu. Semoga semua ibu yang lain mengikuti jejakmu agar tak ada lagi kawula berani mengulangi perbuatanku. Semoga akan jadi sejarah baru di negeri yang sedang digalau narkoba ini. Semoga lebih banyak lagi negeri kita memiliki ibu sejati, seperti ibuku.
Duh Ujang, putraku semata wayang, aku ibu yang kejam, hancur jiwaku berkeping-keping rasa aku merayap pulang. Tak sanggup menatap kegagahan putraku. Tak sanggup mengecilkan rasa berdosaku. Apalagi permintaan terakhir begitu mengenaskan: Ibu aku tak minta apa-apa. Aku hanya ingin makan siang bersama ibu sebelum dieksekusi.
Hari itu, ketika hari menyengat ibu kota, para wartawan boleh menjepret makan bersama yang sedih itu. Dengan syarat tak ada wawancara. Aku sampai seratus kali mengunyah suapan pertama, tapi tetap tak mampu kutelan. Sementara putraku lahap mengenyam sayur lodeh terakhir buatan tangan ibunya.
Ketika pulang kerumah, aku tak mampu bertahan. Aku tumbang didepan pintu rumah. Tapi tak satu pun tetangga sudi menolong. Biar saja perempuan gila itu mati, kata mereka. Binatang pun tak tega bunuh anak sendiri. Iblis itu layaknya dikirim ke neraka. Ia menebarkan virus biadab yang bertentangan dengan kemanusiaan!
Hampir subuh aku tersentak membuka mata. Ronda kampong mengetuk tiang listrik empat kali. Ya Allah aku terlambat!
Itulah saat putraku dipersilakan sholat terakhir untuk kemudian digiring ke lapangan eksekusi. Ya Allah, ampun! Aku terpekik melihat jarum weker terlalu cepat. Tak ada waktu lagi untuk menyebrang ibu kota ke tempat penembakan. Ujangggg!
Sambil membayangkan kain hitam ditutupkan ke mata Ujang dan sepuluh senjata dikokang untuk tebar peluru belah kepalanya. Aku panik. Kalau putra tunggalku mati apa arti hidup ini. Otakku gelap memukul-mukul.
Lalu kuraih stagen dan menggantung diri di kamar mandi. Tak perlu taksi, tidak takut terlambat macet, aku dengan mudah melayang ringan ke angkasa. Jakarta kusebrangi sekejab mata. Di lapangan tembak kusaksikan senjata yang terhunus menunggu aba-aba untuk membantai. Tapi kenapa yang di tunggu tak kunjung terdengar? Jam sudah menghampiri pukul lima. Aku hampir tidur kembali. Tiba-tiba keluar perintah: Turun senjataaaaa, grak! Eksekusi dibatalkan. Regu tembak dikirim kembali ke tangsi. Hukuman mati dibatalkan. Putra ibu ternyata tak bersalah. Semua itu fitnah. Biang kerok sejati pembunuhan sudah menyerah.
Matahari sekali lagi memanjat di Timur Hari akan terang. Ujang putra ibu yang baik bersiul pulang ia beli sejadah baru di pinggir jalan Oleh oleh buat mama sayang yang gagah berani menegakkan kebenaran.
Jakarta, Desmber. 2015
Karya: Putu Wijaya
Sebagai ibu yang baik aku datang ke kantor polisi, atas kemauan sendiri. Melaporkan putraku ujang yang telah khilaf, sesat, bejat, buas. Ia teler lalu membantai satu keluarga ludas. Ia mengunci mereka dalam kamar lalu membakar. Lima orang meninggal. Termasuk pacar Ujang sendiri. Alasannya tak ada. Ujang bilang ia tak tahu. Aku tak sadar, ibu, katanya.
Aku berharap yang berwajib akan bijaksana, oleh laporanku yang terus terang mengakui kesalahan Ujang. Dengan harapan supaya itu bisa meringankan hukumannya. Banyak yang bilang kalau berterus terang mengaku dosa hukumannya ringan.
Siapa lagi yang wajib melaporkan anak yang haus darah kalau bukan bunda kandungnya sendiri? Siapa lagi yang bertugas mendera putra yang gelap mata mencabik jiwa warga tak berdosa, termasuk pacar sendiri yang amat dia cintai, kalau bukan bunda kandungnya?
Aku yang telah memberi Ujang darah dan daging, tapi aku telah alpa tidak berhasil menjauhkan dia dari pergaulan sesat. Aku sungguh menyesal. Siapa lagi yang harus menyeretnya sujud mengakui dosa minta ampunan atas kekhilafannya, agar ia jera, kalau bukan aku? Kalau bukan bunda kandung, siapa lagi yang akan bisa memaksa dia bertanggung jaawab atas segala kejahatannya? Aku rela ia didera, asal sepantasnya, agar ia kapok lantas banting stir dari narkoba ke jalan yang benar.
Semoga peradilan masih memberikan kesempatan generasi muda memperbaiki kesalahannya. Penjara akan meringkusnya nyahok bagaimana hidup berkeadaban. Dengan dijatuhi hukuman nanti semoga iblis yang menggerak di otaknya akan ngletak agar Ujang kembali ke jalan yang benar! Ya Allah, tolonglah ibu yang malang ini menumpas setan yang menguasai jiwa Ujang!
Tetapi malang, hakim putuskan lain. Ujang dianggap kejam, pembunuh berdarah dingin. Membakar satu keluarga tanpa alasan jelas lebih kejam dari binatang buas karenanya wajib musnah kata beliau lantang disambut pekik sorak histeris masyarakat. Palu diketok. Putraku Ujang harus ditembak sampai mati!
Aku, sebagai ibu, semaput. Dikunyah sesal, dihantui dosa, aku mengutuk diriku. Coba, di mana ada ibu membunuh anak sendiri? Bukan Ujang putraku yang binatang buas, tapi aku sendirilah Iblis yang ganas.
Tak kuat mendengar umpat tetangga, tak mampu menerima tudingan biadab, dengan sesal berkepanjangan, aku ibu yang kejam berkunjung ke penjara. Akulah yang harus sujud minta ampun. Akulah yang harus dihukum atas kebodohanku sendiri.
Tapi begitu bertatapan kembali dengan Ujang aku langsung tumbang. Sementara putraku yang malang itu besar jiwanya. Ia sedih melihatku rebah. Lantas ia bersimpuh mengurut kakiku, membalurnya dengan minyak kayu putih. Ketika pelupuk mataku terbuka lagi, ia sujud minta maaf atas segala dosannya, sambil berbisik lirih, aku pamit, ibu, akan pergi jauh dan tak kembali. Ia sama sekali tidak megutuk putusan peradilan. Sama sekali tidak menghujat ibu kandungnya kejam. Sama sekali tidak menggugat kebekuan hati presiden yang tidak memberikan grasi. Sama sekali tak menggugat kenapa nasibnya malang.
Ibu, tak usah menyesal, jangan merasa berdosa, katanya menghiburku. Perbuatan ibu adalah suri teladan yang Ujang akan selalu kenang dan banggakan Sejarah akan mencatat dengan tinta emas keberanian ibu.
Walau putra kandungmu semata wayang, tapi karena ia seorang berdosa, kau antar sendiri agar dihajar. Itu sungguh mulia, ibu. Semoga semua ibu yang lain mengikuti jejakmu agar tak ada lagi kawula berani mengulangi perbuatanku. Semoga akan jadi sejarah baru di negeri yang sedang digalau narkoba ini. Semoga lebih banyak lagi negeri kita memiliki ibu sejati, seperti ibuku.
Duh Ujang, putraku semata wayang, aku ibu yang kejam, hancur jiwaku berkeping-keping rasa aku merayap pulang. Tak sanggup menatap kegagahan putraku. Tak sanggup mengecilkan rasa berdosaku. Apalagi permintaan terakhir begitu mengenaskan: Ibu aku tak minta apa-apa. Aku hanya ingin makan siang bersama ibu sebelum dieksekusi.
Hari itu, ketika hari menyengat ibu kota, para wartawan boleh menjepret makan bersama yang sedih itu. Dengan syarat tak ada wawancara. Aku sampai seratus kali mengunyah suapan pertama, tapi tetap tak mampu kutelan. Sementara putraku lahap mengenyam sayur lodeh terakhir buatan tangan ibunya.
Ketika pulang kerumah, aku tak mampu bertahan. Aku tumbang didepan pintu rumah. Tapi tak satu pun tetangga sudi menolong. Biar saja perempuan gila itu mati, kata mereka. Binatang pun tak tega bunuh anak sendiri. Iblis itu layaknya dikirim ke neraka. Ia menebarkan virus biadab yang bertentangan dengan kemanusiaan!
Hampir subuh aku tersentak membuka mata. Ronda kampong mengetuk tiang listrik empat kali. Ya Allah aku terlambat!
Itulah saat putraku dipersilakan sholat terakhir untuk kemudian digiring ke lapangan eksekusi. Ya Allah, ampun! Aku terpekik melihat jarum weker terlalu cepat. Tak ada waktu lagi untuk menyebrang ibu kota ke tempat penembakan. Ujangggg!
Sambil membayangkan kain hitam ditutupkan ke mata Ujang dan sepuluh senjata dikokang untuk tebar peluru belah kepalanya. Aku panik. Kalau putra tunggalku mati apa arti hidup ini. Otakku gelap memukul-mukul.
Lalu kuraih stagen dan menggantung diri di kamar mandi. Tak perlu taksi, tidak takut terlambat macet, aku dengan mudah melayang ringan ke angkasa. Jakarta kusebrangi sekejab mata. Di lapangan tembak kusaksikan senjata yang terhunus menunggu aba-aba untuk membantai. Tapi kenapa yang di tunggu tak kunjung terdengar? Jam sudah menghampiri pukul lima. Aku hampir tidur kembali. Tiba-tiba keluar perintah: Turun senjataaaaa, grak! Eksekusi dibatalkan. Regu tembak dikirim kembali ke tangsi. Hukuman mati dibatalkan. Putra ibu ternyata tak bersalah. Semua itu fitnah. Biang kerok sejati pembunuhan sudah menyerah.
Matahari sekali lagi memanjat di Timur Hari akan terang. Ujang putra ibu yang baik bersiul pulang ia beli sejadah baru di pinggir jalan Oleh oleh buat mama sayang yang gagah berani menegakkan kebenaran.
Jakarta, Desmber. 2015
Komentar
Posting Komentar