TATA BAHASA DARI SUDUT PANDANG PSIKOLINGUISTIK
Resepsi Bunyi Ujar
Kalau seseorang mendengar suatu ujaran atau kalimat harus mengubah bunyi-bunyi ujar tersebut menjadi suatu konsep yang dapat dimengerti. Bila mendengar kata atau kalimat yang tertinggal dalam ingatan yaitu proposisi dan konsep yang dimaksud pembicara dari kata atau kalimat yang didengarkannya.
Pembatasan bunyi dan makna bukan hal yang mudah. Untuk mencapai pemahaman, seorang pendengar harus menggunakan kompetensi linguistiknya untuk mengidentifikasi bunyi-bunyi ujar dan strategi tertentu mengartikan bunyi ujar tersebut menjadi makna.
Sehubungan dengan pemahaman, Kridalaksana (1984:142) mengatakan bahwa pemahaman merupakan proses mental yang membuat pendengar menyerap bunyi yang diujarkan pembicara dan memakainya untuk membangun maksud atau sesuatu yang dimaksud oleh pembicara. Kalau seseorang mendengar ujaran dari penutur, orang tersebut akan mencoba mengubah ujaran tersebut ke dalam konsep yang berupa pesan dan dapat dimengerti.
Persepsi Bunyi Ujaran
Clark and Clark (1977:45) menyatakan bahwa pemahaman yaitu proses mental pendengar untuk mempersepsi suatu bunyi yang dikeluarkan pembicara dan menggunakan bunyi-bunyi tersebut untuk membentuk suatu interpretasi terhadap maksud pembicara. Dengan kata lain, pembentukan makna dari ujaran pembicara. Untuk dapat memahami suatu ujaran, tidak dapat dilihat dari struktur luarnya saja, tetapi yang penting struktur dalamnya.
Persepsi terhadap bunyi ujaran memang bukan sesuatu yang mudah dilakukan, tetapi manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan baik. Hal itu terjadi dengan melalui serangkaian tahap persepsi, yaitu
Tahap Auditori
Tahap auditori yaitu tahap menerima ujaran sepotong demi sepotong dan kemudian ditanggapi dari segi fitur akustiknya sehingga dapat memisahkan satu bunyi dengan bunyi lainnya untuk disimpan dalam auditori kita. Pada tahap auditori ini yang disimpan alofonisnya.
Tahap Fonetis
Tahap fonetis yaitu tahap mengidentifikasi bunyi, termasuk vokal, konsonan, nasal atau yang lainnya.
Tahap Fonologis
Pada tahap fonetis ini yang disimpan hanya fitur fonemisnya. Tahap fonologis yaitu tahap mengadakan aturan fonotaktik pada bahasa pendengar.
Untuk melakukan pemahaman, menurut Clark and Clark (1977:11), dapat dilihat dari
Proposisi
Clark and Clark (1977:46) menyatakan bahwa proposisi yaitu unit-unit makna pada kalimat yang harus dipahami pendengar. Kridalaksana (1984:162) menambahkan bahwa proposisi sebagai konfigurasi makna yang menjelaskan isi komunikasi dari pembicara. Darjowidjojo (2003:63) menambahkan proposisi sangat penting karena bila kita mendengar suatu kalimat yang dipahami sebetulnya proposisinya. Contohnya, dari kalimat Preman tua itu mencuri sepeda saya, ada beberapa proposisi yang didapat, antara lain: seseorang mencuri sepeda, seseorang itu adalah preman, preman itu sudah tua, dan sepeda itu sepeda saya. Melalui muatan proposional yang tersusun secara teratur, langkah demi langkah, makna keseluruhan ujaran dapat dipahami pendengar.
Konstituen
Sehubungan dengan konstituen, Kridalaksana (1984:107) menyatakan bahwa konstituen adalah unsur bahasa yang merupakan bagian dari satuan yang lebih besar atau bagian dari sebuah konstruksi. Menurut Darjowidjojo (2003:64-65), konstituen merupakan bagian-bagian dari pemotongan suatu kalimat. Akan tetapi, suatu konstituen bukan sekedar pemotongan kalimat yang sifatnya arbitrer sebab konstituen memiliki landasan psikologis dan sintaktis, yaitu (a) konstituen merupakan satu kesatuan yang utuh secara konseptual, (b) pemotongan kelompok kata di luar konstituen akan mengganggu pemahaman, dan (c) yang disimpan di dalam memori merupakan satu kesatuan konstituen. Contohnya, Anak gajah itu mati akan dipotong dengan tanda (/) sehingga menjadi Anak gajah itu/ mati.
Strategi Pemahaman
Untuk strategi pemahaman, Darjowidjojo (2003:67) menyatakan ada tiga hal yang diperlukan, yaitu (a) pengetahuan dunia, (b) strategi sintaktis, dan (c) strategi semantis. Sehubungan dengan pengetahuan dunia, Steinberg (1990:183) menyatakan bahwa pengetahuan seseorang pada dunia termasuk penghuninya berperan penting untuk membuat tafsiran semantis. Artinya, seseorang akan terbantu pemahamannya dengan cara memahami pemakaian ujaran yang dihubungkan dengan pengetahuan dunianya, baik secara universal maupun secara khusus pada masyarakat tempatnya berada. Contohnya, bila seseorang menyebut kucing dengan harimau, pengetahuan umum seseorang akan mampu membedakan kedua binatang, meski memiliki ciri hampir sama, tetapi kucing berbadan kecil dan jinak, sedangkan harimau berbadan besar dan buas.
Persepsi terhadap Kalimat
Untuk mempersepsi kalimat ada dua pandangan yaitu 1) analisis persepsi makna kalimat dapat dilewati karena makna kalimat dapat langsung diambil dari makna kata-katanya dan 2) persepsi kalimat dengan melihat batas-batas frase. Pendapat kedua ini mengacu pada pendapat Gestalt bahwa untuk mempersepsi unit cenderung lebih mudah dilakukan dengan mempertahankan bentuk utuhnya daripada melakukan pembatasan.
Hal yang juga membantu pemahaman yaitu faktor sintaktis yang terwujud dalam strategi sintaktis. Menurut Clark and Clark (1977:59-69) dan Darjowidjojo (2003:69-72) untuk memudahkan pemahaman perlu memahami suatu konstituen. Melalui konstituen itulah, seseorang dapat menerapkan strategi sintaktis, yaitu :
mencari kata lain yang selaras dengan kata pertama, contohnya, kata orang yang cocok ditambah dengan kata itu, tua, besar, dan sebagainya,
mencari kemungkinan pembicara mengakhiri konstruksinya,
contohnya:
kata orang dilanjutkan kata yang menjadi Orang yang…., dicari tambahan kata atau frase yang cocok, seperti besar atau mencari kamu.
mencari kemungkinan argumen yang mengikuti bila ternyata yang didengar suatu verba, contohnya, ungkapan Dia memukul…., pastilah mengharap lanjutan nomina, seperti anjing, atau adiknya,
menempelkan tiap kata baru pada kata yang baru mendahuluinya sebab pada dasarnya wujud suatu kalimat itu linier,
contohnya:
untuk kalimat Buku sejarah kebudayaan Indonesia dapat dipakai pola pikir secara runut yaitu Ini apa? Buku, Buku apa? Buku sejarah, Sejarah apa? Sejarah kebudayaan, Kebudayaan mana? Kebudayaan Indonesia,
memakai kata atau konstituen pertama dari suatu klausa untuk mengidentifikasi fungsi klausa, contohnya, untuk ungkapan Jika kamu setuju,…., pastilah akan ada klausa induk dalam kalimat, dan
memperhatikan penggunaan afiks karena dapat membantu pemahaman, contohnya, ungkapan buku itu dirobekkan pastilah ada pemahaman keberadaan seseorang yang menjadi pelaku.
Selain faktor sintaktis, pemahaman faktor semantis juga membantu. Hal itu dapat dilakukan melalui strategi semantis. Menurut Clark and Clark (1977:73) dan Darjowidjojo (2003:73-76), strategi semantis dapat dilakukan dengan cara:
memakai penalaran untuk memahami ujaran, contohnya, Kucing mengejar tikus, dan tidak mungkin sebaliknya,
mencari konstituen yang memenuhi syarat semantik tertentu, contohnya, kalimat Dia sedang mencarikan anaknya, Orang pasti menyadari bahwa seseorang ingin mencari sesuatu untuk anaknya,
memperkirakan unsur semantis suatu urutan, contohnya, urutan NVN pada Orang itu menabrak pintu,
mencari anteseden apabila bertemu dengan pronomina agar tepat maknanya, contohnya, Vivin, saya, dan Amir berjalan-jalan. ‘Kami’ bertemu teman lama…., dan
mencermati informasi lama yang mendahului informasi baru karena itu akan membantu memahami makna, contohnya, Tasya yang menyanyikan “Anak Gembala”, informasi lamanya mungkin yang menyanyikan dulu bukan Tasya. Sehubungan dengan informasi lama dan informasi baru, Darjowidjojo (2003:97) menyebutnya sebagai muatan tematik. Dalam suatu pembicaraan, apabila ada kesenjangan antara informasi lama dan baru, pendengar tentu tidak dapat memberi tanggapan sebagaimana mestinya.
Persepsi terhadap wacana
Wacana dapat merujuk wacana lisan maupun tulis. Persepsi wacana dapat dilakukan dengan pendekatan skala tingkat agar memudahkan pengertian. Tataran yang dipakai yaitu:
tataran tata bahasa,
tataran wacana, dan
tataran organisasi. Dalam tataran tata bahasa biasanya ada tingkat tertinggi yaitu kalimat dan ada tingkat terendah yaitu morfem. Setiap tingkat dianalisis sehingga pada akhirnya dapat dimengerti. Dalam tataran wacana dilihat melalui tingkat tertinggi sampai terendah yaitu pelajaran. Transaksi, pertukaran, gerakan, dan tindakan. Dalam tataran organisasi meliputi program kemudian mata pelajaran dan topik.
Pemahaman terhadap suatu ujaran tidak berhenti begitu saja, tetapi dapat dilanjutkan dengan suatu tindakan yang berupa tanggapan. Biasanya untuk menyatakan bahwa seseorang paham, seseorang dapat memberi tanggapan atau tidak. Bila memberi tanggapan, seseorang dapat melakukan secara verbal maupun nonverbal. Stubbs (1983:109-111) menyatakan bahwa dalam struktur pertukaran, sebelum ada tanggapan terlebih dahulu ada pemicu atau inisiasi. Tanggapan atau respon dapat berupa verbal atau nonverbal. Suatu tanggapan juga mungkin diikuti oleh tindakan lain sebagai balikan atau lanjutan.
Untuk memberi tanggapan secara tepat, selain memperhatikan faktor-faktor yang telah disebutkan, menurut Leech (1993:164) dan Darjowidjojo (2003:94), pendengar perlu pula memperhatikan tujuan pembicara sebab melalui tujuan pembicaraan itu pula pendengar akan dapat memberi tanggapan yang diperlukan. Contohnya, kalimat Sari menyanyikan lagu “Kopi Dangdut” bertujuan untuk memberi tahu. Jadi, pendengarnya kemungkinan tidak perlu memberi tanggapan, tetapi cukup menangkap maknanya. Hal ini berbeda dengan kalimat Apa Sari yang menyayikan lagu “Kopi Dangdut”? Kalimat tersebut bertujuan untuk bertanya, oleh karena itu pendengarnya tidak cukup menangkap maknanya, tetapi juga diminta untuk memberi tanggapan yang berupa jawaban.
Darjowidjojo (2003:94) menyatakan untuk memberi tanggapan perlu memperhatikan tindak bahasa pembicara. Seperti yang telah dijelaskan pada tindak berbahasa pada pembahasan lalu, saat melakukan tindak bahasa, seseorang dapat melakukan secara tindak a) representatif, b) direktif, c) komisif, d) ekspresif, atau e) deklaratif. Bila pembicara melakukan tindak ujar representatif berarti pembicara ingin menyatakan sesuatu, tugas pendengarnya biasanya hanya memahami makna informasi. Bila pembicara melakukan tindak direktif yang tujuannya menginginkan pendengar melakukan sesuatu, pendengar dapat memberi tanggapan sesuai dengan permintaan pembicara. Bila pembicara membuat kalimat tanya Adik bisa menyanyi?, pendengarnya setelah memahami dapat memberi jawaban Bisa/Tidak atau kalimat Ayah ke mana?, pendengarnya dapat memberi jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yaitu Ke toko. Bila kalimat pembicara berupa perintah, contoh: Susunya diminum!, pendengarnya melakukan perbuatan minum susu. Untuk tindak komisif berarti perintah ditujukan kepada pembicara sendiri. Jadi, pendengarnya cukup memahami dan menyimpan informasinya. Untuk tindak ujar ekspresif yang berhubungan dengan keadaan psikologis seseorang, contoh: Selamat ulang tahun!, pendengar dapat memberi tanggapan yang berupa ucapan terima kasih. Untuk tindak ujar deklarasi karena hanya merupakan pernyataan mengenai sesuatu sebagai tanda kelayakan, pendengar kadang tidak perlu memberi tanggapan.
Pengungkapan Pikiran
Yang dimaksud dengan pengungkapan pikiran yaitu kemampuan seseorang untuk mengungkapkan pikirannya melalui alat vokal atau tulisan. Apabila seseorang mengungkapkan pikiran berarti orang tersebut akan melalui:
tahap pemprosesan pesan,
tahap fungsional yaitu tahap pemilihan bentuk leksikal lalu diberi peran dan fungsi sintaktik,
tahap posisional yaitu tahap pembentukan konstituen dan afiksasi, serta
tahap fonologis yaitu tahap pengujaran bunyi.
Sehubungan dengan produksi, bila seseorang mengujarkan sesuatu, orang tersebut akan mencoba menampilkan makna yang terkandung dalam pikirannya menjadi bunyi. Subyakto-Nababan (1992:58) menyatakan bahwa memproduksi suatu bahasa merupakan kemampuan seseorang untuk mengungkapkan pikiran melalui alat vokal maupun melalui tulisan. Steinberg (1990:172-173) menambahkan bahwa memproduksi suatu bahasa merupakan proses untuk menghasilkan seperangkat bunyi untuk menyampaikan ide atau gagasan seorang penutur. Untuk memproduksi bahasa, seseorang tidak hanya terlibat dengan aspek fonologis dan sintaktis, tetapi juga pertalian bunyi dengan makna.
Untuk memproduksi ujaran, Bock dan Levelt (dalam Darjowidjojo, 2003:117) membagi atas empat tingkat, yaitu tingkat pesan, tingkat fungsional, tingkat posisional, dan tingkat fonologis. Proses tersebut sama dengan Garman (2000:377) yang membagi proses produksi menjadi tingkat pesan, tingkat kalimat, dan tingkat artikulasi. Pada tingkat pesan, pembicara mengumpulkan nosi-nosi dari kata yang akan disampaikan. Pada tingkat fungsional, pembicara memilih bentuk leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan dan memberi fungsi gramatikal. Pada tingkat posisional, pembicara mengurutkan bentuk leksikal yang diujarkan berdasarkan kesatuan makna kemudian dilanjutkan pada proses fonologis yang bertugas untuk mewujudkan bunyi.
Clark dan Clark (1977:224) menyatakan ada dua hal yang penting untuk produksi yaitu perencanaan dan pelaksanaan. Untuk perencanaan ada tiga hal yang terkait dalam perencanaan produksi, yaitu perencanaan wacana, kalimat, dan konstituen. Perencanaan wacana berhubungan dengan pemilihan jenis wacana, yaitu dengan memperhitungkan partisipan, latar bersama, perbuatan (aturan) bersama, dan kontribusi. Perencanaan kalimat berhubungan dengan pemilihan kalimat yang tepat untuk pesan yang dimaksud. Perencanaan kalimat tersebut memperhitungkan tiga hal, yaitu muatan proposisional, muatan ilokusioner, dan muatan tematik. Perencanaan konstituen berhubungan dengan pemilihan kata-kata yang memiliki makna yang tepat, sesuai yang dikehendaki pembicara. Dari perencanaan yang telah dilakukan tersebut kemudian pembicara dapat melaksanakan produksi ujaran yang berupa pengartikulasian.
Pada saat memproduksi tersebut, kadang pembicara tidak lancar dalam memproduksi ujaran. Beberapa bentuk penyimpangan saat memproduksi ujaran yaitu (a) kesenyapan dan (b) kekeliruan yang meliputi kilir lidah dan afasia. Penyimpangan kesenyapan (pause) biasanya terjadi karena orang ragu-ragu pada saat berbicara. Penyimpangan kilir lidah (tongue slips) terjadi penyimpangan produksi kata karena pembicara ‘terkilir’ lidahnya sehingga kata yang diproduksi bukan kata yang dimaksudkan. Penyimpangan afasia terjadi karena pembicara mengalami penyakit pada otaknya (misalnya: stroke) sehingga tidak dapat berbicara dengan baik.
Ingatan dan Daya Ingat Bahasa
Ingatan merupakan bagian yang sangat penting dalam memahami isi atau pesan pembicaraan, mulai saat bunyi diujarkan hingga beberapa tahun kemudian. Dalam proses konstruksi ingatan ada tempat bunyi-bunyi ujar disimpan. Tempat itu merupakan tempat terakhir untuk menyimpan informasi lama dan informasi baru. Ingatan merupakan arsip untuk fakta-fakta dan pengetahuan umum yang orang gunakan untuk menyimpulkan makna-makna secara tidak langsung.
Clark and Clark (1977:133) menyatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi ingatan, yaitu a) tipe bahasa yang digunakan, b) masukan, c) waktu, dan d) hasil. Untuk proses rekonstruksinya terjadi melalui tiga tahap, yaitu a) tahap masukan masuk ke dalam diri pendengar atau pembaca, b) tahap penyimpanan yang melibatkan dua bentuk penyimpanan yaitu bentuk penyimpanan jangka pendek dan bentuk penyimpanan jangka panjang, dan c) hasil penyimpanan yang terjadi di memori jangka pendek merupakan makna harfiah dan interpretasi makna, sedangkan hasil penyimpanan di memori jangka panjang merupakan isi, pesan atau makna.
Sehubungan dengan penyimpanan, ada pertanyaan yang menarik yaitu “bagaimana manusia menyimpan kata-kata itu dengan segala informasi yang berkaitan dalam leksikon mentalnya?”. Pada dasarnya ada dua pandangan mengenai hal ini. Pandangan pertama yaitu tiap kata disimpan sebagai kata yang terpisah. Jadi, kata-kata seperti jatuh, terjatuh, menjatuhi, menjatuhkan, dan kejatuhan disimpan sebagai lima kata yang terpisah-pisah. Argumentasi untuk teori ini yaitu retival yang dapat dengan cepat dilakukan itu karena kita hanya tinggal mencomot saja kata yang diinginkan.
Pandangan lain membantah dan menyatakan bahwa penyimpanan kata yang berdasarkan kata ini (word based theory) sangatlah boros karena otak kita tentu harus menyimpan ribuan kata. Pandangan ini berprinsip yang disimpan bukan kata, tetapi morfem. Ada dua argumentasi yang mendukung pandangan. Pertama, penyimpanan seperti ini lebih hemat. Untuk suatu konsep hanya satu yang disimpan. Konsep lain yang berkaitan diramu dengan mencampur morfem utama dengan afiks yang relevan. Afiks-afiks ini tidak hanya ditempelkan pada satu morfem saja, tetapi juga pada morfem lain mana pun yang memenuhi persyaratan tertentu. Contohnya, prefiks /ter-/ tidak hanya dapat digabung dengan kata jatuh, tetapi juga dengan kata bawa, pukul, tipu, dan masih banyak lagi. Kedua, waktu yang dibutuhkan untuk retrival kata multimorfemik lebih lama daripada yang bermorfem satu. Ketiga, adanya kilir lidah masih menunjukkan bahwa masing-masing morfem tetap pada tempatnya semula. Contohnya, seseorang ingin mengatakan kata tertawa terkilir lidahnya menjadi terbawa. Afiks /ter-/ tetap pada tempatnya.
Bagaimana dengan bentuk frase idiomatik? Bentuk tersebut selain disimpan sendiri-sendiri juga disimpan dalam sebuah kesatuan karena dalam frase idiomatik memiliki arti yang tersendiri. Contoh, kata tong dan seng, sapu dan tangan, serta putih dan mata bila sebagai frase idiomatik akan disimpan menjadi satu kata karena memiliki satu arti.
Baca juga: Strategi Pembelajaran
Rangkuman
Studi tata bahasa menurut sudut pandangan psikolinguistik yaitu 1) cara bunyi-bunyi ujar sampai ke telinga pendengar dan cara mengubah bunyi-bunyi ujar menjadi konsep, cara pendengar menentukan makna kalimat yang didengarnya, cara pembicara merencanakan pengungkapan bahasa, baik secara lisan maupun tulisan, dan cara menyimpan informasi yang diperoleh melalui bunyi-bunyi ujar yang kita dengar atau tulisan yang kita baca.
Ingatan merupakan bagian untuk menyimpan informasi lama dan informasi baru. Ingatan merupakan arsip untuk fakta-fakta dan pengetahuan umum yang orang, yang digunakan untuk menyimpulkan makna-makna secara tidak langsung.
Manusia menyimpan kata-kata itu dengan segala informasi yang berkaitan dalam leksikon mentalnya yaitu tiap kata disimpan sebagai kata yang terpisah. Pandangan ini berprinsip yang disimpan bukan kata, tetapi morfem.
Komentar
Posting Komentar